JWMovement.com, Jakarta –Tunjangan Hari Raya (THR), yang dinanti oleh banyak orang menjelang Lebaran, memiliki sejarah yang menarik di Indonesia. Mari kita lihat bagaimana istilah ini muncul dan berkembang.
Awal Mula THR
THR pertama kali muncul pada awal 1950-an. Pencetusnya adalah Soekiman Wirjosandjojo, yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri. Kebijakan THR ini merupakan bagian dari program kerja Kabinet Soekiman yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan aparatur negara. Pada awalnya, THR diberikan kepada pamong pradja (sekarang dikenal sebagai PNS) dengan besaran antara Rp 125 hingga Rp 200 per orang (setara dengan Rp 1.100.000 hingga Rp 1.750.000 saat ini).
Protes dan Perjuangan Buruh
Pada saat itu, THR hanya berlaku di lingkungan pegawai negeri. Perusahaan swasta belum memiliki kebijakan serupa. Hal ini menimbulkan protes dari kalangan buruh, yang merasa tidak adil karena pegawai negeri mendapatkan THR sementara mereka tidak. Pada 13 Februari 1952, gelombang protes mencapai puncak, dan para buruh melakukan mogok kerja untuk menuntut THR dari pemerintah.
Mandatori untuk Pegawai Swasta
Pemberian THR bagi pegawai swasta baru menjadi wajib setelah diatur oleh pemerintah pada tahun 1994. Menteri Tenaga Kerja menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan. Kemudian pada tahun 2003, peraturan tersebut disempurnakan dengan terbitnya UU nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Dalam peraturan ini, pegawai yang sudah bekerja lebih dari 3 bulan wajib mendapatkan tunjangan.
Jadi, istilah THR memiliki akar sejarah yang kuat dan telah menjadi bagian penting dari tradisi Lebaran di Indonesia.
Di kutip dari beberapa sumber.